KEDIRI, DETIKPOS.net - Tentu bukan karena tinggal di pelosok desa di bawah lereng Gunung Wilis, membuat perkembangan balita Eringga tidak terkontrol. Bocah berusia tujuh tahun ini menjadi bocah pemakan segala. Semua benda yang ada di depannya dia lahap.
Pasangan suami istri Nuhari, 44, dan Warsiah, 42, hanya bisa menjerit atau mengelus dada setiap kali mendapati anak keempatnya, Eringga, kembali bertindak aneh. Hampir segala sesuatu yang dilihat dan bisa masuk mulut dia santap.
Begitu juga dengan semua cairan yang dijumpainya, ia minum. Bahkan keluarga yang tinggal di Dusun Sambiroto, Desa Jugo, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri itu menyebut, putranya yang akrab disapa Eri itu pernah makan dan minum mulai dari sabun krim hingga oli bekas.
Eringga dibesarkan di tengah-tengah keluarga penyadap getah pinus di lereng Gunung Wilis. Eringga adalah anak keempat dari pasangan Nuhari, dan Warsiah. Menurut pengakuan keluarganya, kebiasan buruk pemakan segala itu berlangsung sejak dua tahun terakhir.
Warsiah, ibu kandung Eringga menuturkan bahwa keanehan yang dilakukan anaknya berlangsung sejak dua tahun terakhir. “Dulu masih kecil dia senang sekali mainan bedak. Tubuhnya ditaburi minyak kayu putih juga senang. Tapi sekarang jadi aneh karena bedak dan minyak kayu putih itu malah dimakan,” kata Warsiah saat ditemui di rumahnya, Kamis (8/4).
Keanehan memakan segala sesuatu yang dilihatnya itu makin merajalela. Pernah Warsiah histeris saat melihat sabun krim habis dilahap buah hatinya. “Sampai sabun dulit (krim) dimakannya,” jelas Nuhari.
Begitu juga sabun mandi tidak luput dari endusan si bocah aneh tersebut. Selain itu pasta gigi, daging mentah, bawang merah dan putih, sampai arang hitam pun pernah dimakannya dengan lahap. Ia juga pernah minum minyak kayu putih dan oli bekas.
Karena melihat perkembangan anaknya yang selalu memakan apa saja, Warsiah memutuskan untuk tetap berada di rumah. Sebelumnya, usai subuh dia rutin menemani suaminya menuju kebun pinus. Di pagi buta, mereka membawa cintung dan pisau untuk menderas pinus. Demi menjaga Eri, saat ini Warsiah tidak lagi bekerja.
Meski sudah memasuki usia sekolah dasar (SD), Eringga belum juga menikmati pendidikan. Bahkan TK pun juga belum.
Eringga dibesarkan keluarga buruh penyadap getah pinus di rumah kecil berlantai plester. Seperti warga Sambiroto lainnya, Nuhari juga mendapat jatah lahan untuk disadap setiap hari. Hasil sadapan rata-rata 20 kg getah karet per hari. Harga per kilo sekitar Rp 2.300. Sehari Nuhari mendapat pemasukan Rp 46.000.
Eringga juga kerap menangkapi nyamuk atau serangga. Dan serangga yang masih hidup itu tidak jarang dimakan begitu saja. Kenapa anaknya mengalami perkembangan sampai di luar nalar? Warsiah yang mengaku tidak pernah mengenyam dunia pendidikan mengaku tidak tahu. Tiga anak pertamanya tidak ada yang seperti Eringga.
Warsiah hanya ingat bahwa pertumbuhan anaknya itu memang berbeda dengan anaknya yang lain. “Anak saya ini sejak kecil sering sakit-sakitan. Pernah berak sampai keluar darah. Tiga bulan terus begitu. Saya takut waktu itu,” jelasnya.
Bocah berambut ikal itu pernah membuat keluarga cemas saat panas menyerangnya. Biasanya kalau panas tinggi selalu dibarengi kejang-kejang. Dalam perkembangannya hingga usia tujuh tahun, bocah ini seperti mengalami keterbelakangan mental. Dia belum bisa berbicara lancar.
Sesekali hanya mampu mengucapkan satu kata. Misalnya makan, emak atau bapak. Kalau bicara kerap tidak bisa dipahami karena tidak lancar.
Saat coba diajak bicara, bocah aneh ini malah asyik dengan tangannya sendiri yang memainkan pasta gigi (odol) kemudian dimasukkan ke mulut. Seakan asyik dengan dunianya sendiri, dia memilih cuek sambil melakukan segala sesuatu yang disukainya.
Nyaris tewas keracunan
Karena segala sesuatu masuk mulut dimakan, membuat kondisi bocah tersebut rentan. Bocah ini bahkan sempat keracunan karena makan dan minum apa saja tanpa melihat barang itu bahaya bagi kesehatannya atau tidak.
Menurut pengakuan keluarga, sudah empat kali bocah itu mengalami keracunan. Bocah ini pernah nyaris tewas sebelum akhirnya berhasil diselamatkan setelah menjalani perawatan intensif di RSUD Gambiran, Kota Kediri.
“Belum lama, sekitar sebulan lalu keracunan hebat. Tidak tahu apa yang dimakan atau diminumnya. Matanya melebar dan kesadarannya tak ada. Harapan selamat katanya tipis. Tapi tidak tahu kok anak saya sehat kembali,” terang Nuhari.
Cerita itu bukan pertama kali Eringga keracunan akibat melahap apa saja yang dilihatnya. Setelah diperiksakan ke Puskesmas, dokter menyatakan bahwa banyak zat racun yang ada di tubuh Eringga. Namun, setelah dua atau tiga hari dirawat kondisinya kembali pulih.
Kepala Puskesmas Mojo, dr Iradat Sujono, menjelaskan bahwa keanehan Eri sebagai bentuk kelainan autis. Namun kelainan ini sudah pada taraf akut. Ini terjadi karena penanganan yang terlambat.
Kalainan itu tampak pada sikap dan gerak-gerik Eringga yang seenaknya sendiri. Sikap psikologinya yang tak menghiraukan orang-orang di sekelilingnya. Interaksi sosial pun kurang. “Begitulah autis yang selalu asyik dengan diri dan dunianya sendiri,” katanya.
Untuk penanganan saat ini, Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri ikut membantu dan memperhatikan keluarga Eringga. Rumah sakit telah menyediakan obat gratis kepada warga Lereng Wilis yang berjarak sekitar 40 km dari Kota Kediri ini. Setiap 10 hari sekali obat diambil keluarga Eri.
“Obat itu untuk penenang saja agar anak bisa dikendalikan. Ketelatenan orangtua dan keluarga terdekat untuk selalu memberikan perhatian lebih menjadi solusinya,” kata Iradat. [surya]
sumber : detikpos.com
Pasangan suami istri Nuhari, 44, dan Warsiah, 42, hanya bisa menjerit atau mengelus dada setiap kali mendapati anak keempatnya, Eringga, kembali bertindak aneh. Hampir segala sesuatu yang dilihat dan bisa masuk mulut dia santap.
Begitu juga dengan semua cairan yang dijumpainya, ia minum. Bahkan keluarga yang tinggal di Dusun Sambiroto, Desa Jugo, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri itu menyebut, putranya yang akrab disapa Eri itu pernah makan dan minum mulai dari sabun krim hingga oli bekas.
Eringga dibesarkan di tengah-tengah keluarga penyadap getah pinus di lereng Gunung Wilis. Eringga adalah anak keempat dari pasangan Nuhari, dan Warsiah. Menurut pengakuan keluarganya, kebiasan buruk pemakan segala itu berlangsung sejak dua tahun terakhir.
Warsiah, ibu kandung Eringga menuturkan bahwa keanehan yang dilakukan anaknya berlangsung sejak dua tahun terakhir. “Dulu masih kecil dia senang sekali mainan bedak. Tubuhnya ditaburi minyak kayu putih juga senang. Tapi sekarang jadi aneh karena bedak dan minyak kayu putih itu malah dimakan,” kata Warsiah saat ditemui di rumahnya, Kamis (8/4).
Keanehan memakan segala sesuatu yang dilihatnya itu makin merajalela. Pernah Warsiah histeris saat melihat sabun krim habis dilahap buah hatinya. “Sampai sabun dulit (krim) dimakannya,” jelas Nuhari.
Begitu juga sabun mandi tidak luput dari endusan si bocah aneh tersebut. Selain itu pasta gigi, daging mentah, bawang merah dan putih, sampai arang hitam pun pernah dimakannya dengan lahap. Ia juga pernah minum minyak kayu putih dan oli bekas.
Karena melihat perkembangan anaknya yang selalu memakan apa saja, Warsiah memutuskan untuk tetap berada di rumah. Sebelumnya, usai subuh dia rutin menemani suaminya menuju kebun pinus. Di pagi buta, mereka membawa cintung dan pisau untuk menderas pinus. Demi menjaga Eri, saat ini Warsiah tidak lagi bekerja.
Meski sudah memasuki usia sekolah dasar (SD), Eringga belum juga menikmati pendidikan. Bahkan TK pun juga belum.
Eringga dibesarkan keluarga buruh penyadap getah pinus di rumah kecil berlantai plester. Seperti warga Sambiroto lainnya, Nuhari juga mendapat jatah lahan untuk disadap setiap hari. Hasil sadapan rata-rata 20 kg getah karet per hari. Harga per kilo sekitar Rp 2.300. Sehari Nuhari mendapat pemasukan Rp 46.000.
Eringga juga kerap menangkapi nyamuk atau serangga. Dan serangga yang masih hidup itu tidak jarang dimakan begitu saja. Kenapa anaknya mengalami perkembangan sampai di luar nalar? Warsiah yang mengaku tidak pernah mengenyam dunia pendidikan mengaku tidak tahu. Tiga anak pertamanya tidak ada yang seperti Eringga.
Warsiah hanya ingat bahwa pertumbuhan anaknya itu memang berbeda dengan anaknya yang lain. “Anak saya ini sejak kecil sering sakit-sakitan. Pernah berak sampai keluar darah. Tiga bulan terus begitu. Saya takut waktu itu,” jelasnya.
Bocah berambut ikal itu pernah membuat keluarga cemas saat panas menyerangnya. Biasanya kalau panas tinggi selalu dibarengi kejang-kejang. Dalam perkembangannya hingga usia tujuh tahun, bocah ini seperti mengalami keterbelakangan mental. Dia belum bisa berbicara lancar.
Sesekali hanya mampu mengucapkan satu kata. Misalnya makan, emak atau bapak. Kalau bicara kerap tidak bisa dipahami karena tidak lancar.
Saat coba diajak bicara, bocah aneh ini malah asyik dengan tangannya sendiri yang memainkan pasta gigi (odol) kemudian dimasukkan ke mulut. Seakan asyik dengan dunianya sendiri, dia memilih cuek sambil melakukan segala sesuatu yang disukainya.
Nyaris tewas keracunan
Karena segala sesuatu masuk mulut dimakan, membuat kondisi bocah tersebut rentan. Bocah ini bahkan sempat keracunan karena makan dan minum apa saja tanpa melihat barang itu bahaya bagi kesehatannya atau tidak.
Menurut pengakuan keluarga, sudah empat kali bocah itu mengalami keracunan. Bocah ini pernah nyaris tewas sebelum akhirnya berhasil diselamatkan setelah menjalani perawatan intensif di RSUD Gambiran, Kota Kediri.
“Belum lama, sekitar sebulan lalu keracunan hebat. Tidak tahu apa yang dimakan atau diminumnya. Matanya melebar dan kesadarannya tak ada. Harapan selamat katanya tipis. Tapi tidak tahu kok anak saya sehat kembali,” terang Nuhari.
Cerita itu bukan pertama kali Eringga keracunan akibat melahap apa saja yang dilihatnya. Setelah diperiksakan ke Puskesmas, dokter menyatakan bahwa banyak zat racun yang ada di tubuh Eringga. Namun, setelah dua atau tiga hari dirawat kondisinya kembali pulih.
Kepala Puskesmas Mojo, dr Iradat Sujono, menjelaskan bahwa keanehan Eri sebagai bentuk kelainan autis. Namun kelainan ini sudah pada taraf akut. Ini terjadi karena penanganan yang terlambat.
Kalainan itu tampak pada sikap dan gerak-gerik Eringga yang seenaknya sendiri. Sikap psikologinya yang tak menghiraukan orang-orang di sekelilingnya. Interaksi sosial pun kurang. “Begitulah autis yang selalu asyik dengan diri dan dunianya sendiri,” katanya.
Untuk penanganan saat ini, Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri ikut membantu dan memperhatikan keluarga Eringga. Rumah sakit telah menyediakan obat gratis kepada warga Lereng Wilis yang berjarak sekitar 40 km dari Kota Kediri ini. Setiap 10 hari sekali obat diambil keluarga Eri.
“Obat itu untuk penenang saja agar anak bisa dikendalikan. Ketelatenan orangtua dan keluarga terdekat untuk selalu memberikan perhatian lebih menjadi solusinya,” kata Iradat. [surya]
sumber : detikpos.com
0 Comments:
Post a Comment