KUNJUNGI SALAH SATU LINK DIBAWAH INI SBG DONASI DARI ANDA UTK MEMBUAT BLOG INI LEBIH BAIK

Friday, March 2, 2012

Guo Feng, Pria Berpayudara Terbesar


Untuk urusan ukuran payudara, tolak ukurnya adalah Pamela Anderson. Namun, kini aktris serial televisi Baywatch itu punya pesaing. Meski begitu, Anderson tidak perlu khawatir karena pesaingnya ternyata seorang pria.

http://assets.kompas.com/data/photo/2010/03/29/0907296p.jpg

Para dokter di China mengklaim telah menemukan pria berdada terbesar di dunia setelah seorang petani memeriksakan diri di klinik spesialis dada di Beijing.

Dokter Zhang Lilan dari Rumah Sakit Dada Jinan mengatakan, pria bernama Guo Feng ini tidak berbeda dengan pria lain. Gagah, tegap, dan berotot. "Tapi yang membedakan, payudaranya besar sekali," kata dokter Zhang.

Namun, kondisi ini justru memusingkan Guo Feng. "Dia mengaku sangat tidak nyaman, apalagi ketika bekerja. Sehari-hari dia berurusan dengan pekerjaan manual, tapi dadanya yang besar itu selalu mengganggu," ujar dokter Zhang.

Tak hanya itu, penampilan fisiknya yang tak biasa jelas selalu menarik perhatian orang. "Setiap orang yang melihatnya pasti menoleh, lalu menertawakannya. Karena tidak tahan, dia akhirnya harus mengenakan jaket tebal untuk menutupi dadanya. Tak terkecuali saat hari panas," kata Zhang

Menurut Guo Feng, dadanya mulai membesar sekitar 10 tahun lalu. "Awalnya, saya tidak terlalu peduli karena saat itu saya bertambah gemuk. Namun, beberapa tahun terakhir ini, keadaannya makin tak terkendali. Saya sudah memeriksakan diri ke beberapa rumah sakit, tetapi tidak ada yang bisa menolong," ucap Guo Feng.

Jangan tanya soal biaya. Pria berusia 53 tahun itu mengaku sudah habis-habisan untuk menyembuhkan keanehannya itu.

"Saya sudah menghabiskan semua uang saya untuk periksa dan berbagai macam tes. Tapi sama sekali belum ada solusi. Bahkan, makin lama dada saya makin besar saja," kata Guo Feng dengan nada putus asa.

Menurut dia, dokter enggan membantunya karena berpendapat kondisinya merupakan keanehan medis.

"Jika tidak ada yang bisa menolong, saya akan memotong sendiri dua payudara ini. Karena itu, saya minta dokter segera melakukan sesuatu, sebelum saya nekat," kata petani malang itu.

Namun, para dokter yang kini menangani kasusnya belum mau bertindak sebelum mereka menemukan pangkal masalahnya.

"Selama 30 tahun menjadi dokter spesialis di rumah sakit ini, saya belum pernah menemukan kasus semacam ini," kata dokter Zhang.

Direktur rumah sakit itu, Gaoyong Hong, menambahkan, "Awalnya kami mengira dia telah makan racun atau bahan makanan yang telah terkontaminasi. Namun, tes darah tidak menemukan apa pun. Secara genetis pun dia normal. Berdasarkan hasil sinar-x pun, dalam payudaranya tidak ada kanker."

"Mungkin ini ada hubungannya dengan lemak. Yang jelas, kami bisa nyatakan bahwa kami menemukan pria berpayudara terbesar di dunia," ujar Gaoyong Hong


Sejarah Film Dokumenter


Film dokumenter tidak seperti halnya film fiksi (cerita) merupakan sebuah rekaman peristiwa yang diambil dari kejadian yang nyata atau sungguh-sungguh terjadi. Definisi “dokumenter” sendiri selalu berubah sejalan dengan perkembangan film dokumenter dari masa ke masa. Sejak era film bisu, film dokumenter berkembang dari bentuk yang sederhana menjadi semakin kompleks dengan jenis dan fungsi yang semakin bervariasi. Inovasi teknologi kamera dan suara memiliki peran penting bagi perkembangan film dokumenter. Sejak awalnya film dokumenter hanya mengacu pada produksi yang menggunakan format film (seluloid) namun selanjutnya berkembang hingga kini menggunakan format video (digital). Berikut adalah ulasan singkat mengenai perkembangan sejarah film dokumenter dari masa ke masa.
..
Era Film Bisu

Sejak awal ditemukannya sinema, para pembuat film di Amerika dan Perancis telah mencoba mendokumentasikan apa saja yang ada di sekeliling mereka dengan alat hasil temuan mereka. Seperti Lumiere Bersaudara, mereka merekam peristiwa sehari-hari yang terjadi di sekitar mereka, seperti para buruh yang meninggalkan pabrik, kereta api yang masuk stasiun, buruh bangunan yang bekerja, dan lain sebagainya. Bentuknya masih sangat sederhana (hanya satu shot) dan durasinya pun hanya beberapa detik saja. Film-film ini lebih sering diistilahkan “actuality films”. Beberapa dekade kemudian sejalan dengan penyempurnaan teknologi kamera berkembang menjadi film dokumentasi perjalanan atau ekspedisi, sepertiSouth (1919) yang mengisahkan kegagalan sebuah ekspedisi ke Antartika.

Tonggak awal munculnya film dokumenter secara resmi yang banyak diakui oleh sejarawan adalah film Nanook of the North (1922) karya Robert Flaherty. Filmnya menggambarkan kehidupan seorang Eskimo bernama Nanook di wilayah Kutub Utara. Flaherty menghabiskan waktu hingga enam belas bulan lamanya untuk merekam aktifitas keseharian Nanook beserta istri dan putranya, seperti berburu, makan, tidur, dan sebagainya. Sukses komersil Nanook membawa Flaherty melakukan ekspedisi ke wilayah Samoa untuk memproduksi film dokumenter sejenis berjudul Moana (1926). Walau tidak sesukses Nanook namun melalui film inilah pertama kalinya dikenal istilah “documentary”, melalui ulasan John Grierson di surat kabar New York Sun. Oleh karena peran pentingnya bagi awal perkembangan film dokumenter, para sejarawan sering kali menobatkan Flaherty sebagai “Bapak Film Dokumenter”.
..
Sukses Nanook juga menginspirasi sineas-produser Merian C. Cooper dan Ernest B. Schoedsack untuk memproduksi film dokumenter penting, Grass: A Nation's Battle for Life (1925) yang menggambarkan sekelompok suku lokal yang tengah bermigrasi di wilayah Persia. Kemudian berlanjut dengan Chang: A Drama of the Wilderness (1927) sebuah film dokumenter perjalanan yang mengambil lokasi di pedalaman hutan Siam (Thailand). Eksotisme film-film tersebut kelak sangat mempengaruhi produksi film (fiksi) fenomenal produksi Cooper, yaitu King Kong (1933). Di Eropa, beberapa sineas dokumenter berpengaruh juga bermunculan. Di Uni Soviet, Dziga Vertov memunculkan teori “kino eye”. Ia berpendapat bahwa kamera dengan semua tekniknya memiliki nilai lebih dibandingkan mata manusia. Ia mempraktekkan teorinya melalui serangkaian seri cuplikan berita pendek,Kino Pravda (1922), serta The Man with Movie Camera (1929) yang menggambarkan kehidupan keseharian kota-kota besar di Soviet. Sineas-sineas Eropa lainnya yang berpengaruh adalah Walter Ruttman dengan filmnya, Berlin - Symphony of a Big City (1927) lalu Alberto Cavalcanti dengan filmnya Rien Que les Heures.

Era Menjelang dan Masa Perang Dunia
..
Film dokumenter berkembang semakin kompleks di era 30-an. Munculnya teknologi suara juga semakin memantapkan bentuk film dokumenter dengan teknik narasi dan iringan ilustrasi musik. Pemerintah, institusi, serta perusahaan besar mulai mendukung produksi film-film dokumenter untuk kepentingan yang beragam. Salah satu film yang paling berpengaruh adalah Triump of the Will(1934) karya sineas wanita Leni Riefenstahl, yang digunakan sebagai alat propaganda Nazi. Untuk kepentingan yang sama, Riefenstahl juga memproduksi film dokumenter penting lainnya, yakni Olympia (1936) yang berisi dokumentasi even Olimpiade di Berlin. Melalui teknik editing dan kamera yang brilyan, atlit-atlit Jerman sebagai simbol bangsa Aria diperlihatkan lebih superior ketimbang atlit-atlit negara lain.

Di Amerika, era depresi besar memicu pemerintah mendukung para sineas dokumenter untuk memberikan informasi seputar latar-belakang penyebab depresi. Salah satu sineas yang menonjol adalah Pare Lorentz. Ia mengawali dengan The Plow that Broke the Plains (1936), dan sukses film ini membuat Lorentz kembali dipercaya memproduksi film dokumenter berpengaruh lainnya, The River (1937). Kesuksesan film-film tersebut membuat pemerintah Amerika serta berbagai institusi makin serius mendukung proyek film-film dokumenter. Dukungan ini kelak semakin intensif pada dekade mendatang setelah perang dunia berkecamuk.
..
Perang Dunia Kedua mengubah status film dokumenter ke tingkat yang lebih tinggi. Pemerintah Amerika bahkan meminta bantuan industri film Hollywood untuk memproduksi film-film (propaganda) yang mendukung perang. Film-film dokumenter menjadi semakin populer di masyarakat. Sebelum televisi muncul, publik dapat menyaksikan kejadian dan peristiwa di medan perang melalui film dokumenter serta cuplikan berita pendek yang diputar secara reguler di teater-teater. Beberapa sineas papan atas Hollywood, seperti Frank Capra, John Ford, William Wyler, dan John Huston diminta oleh pihak militer untuk memproduksi film-film dokumenter Perang. Capra misalnya, memproduksi tujuh seri film dokumenter panjang bertajuk, Why We Fight (1942-1945) yang dianggap sebagai seri film dokumenter propaganda terbaik yang pernah ada. Capra bahkan bekerja sama dengan studio Disney untuk membuat beberapa sekuen animasinya. Sementara John Ford melalui The Battle of Midway (1942) dan William Wyler melalui Memphis Belle (1944) keduanya juga sukses meraih piala Oscar untuk film dokumenter terbaik.

Era Pasca Perang Dunia

Pada era setelah pasca Perang Dunia Kedua, perkembangan film dokumenter mengalami perubahan yang cukup signifikan. Film dokumenter makin jarang diputar di teater-teater dan pihak studio pun mulai menghentikan produksinya. Semakin populernya televisi menjadikan pasar baru bagi film dokumenter. Para sineas dokumenter senior, seperti Flaherty, Vertov, serta Grierson sudah tidak lagi produktif seperti pada masanya dulu. Sineas-sineas baru mulai bermunculan dan didukung oleh kondisi dunia yang kini aman dan damai makin memudahkan film-film mereka dikenal dunia internasional. Satu tendensi yang terlihat adalah film-film dokumenter makin personal dan dengan teknologi kamera yang semakin canggih membantu mereka melakukan berbagai inovasi teknik. Tema dokumenter pun makin meluas dan lebih khusus, seperti observasi sosial, ekspedisi dan eksplorasi, liputan even penting, etnografi, seni dan budaya, dan lain sebagainya.

Sineas Swedia, Arne Sucksdorff menggunakan lensa telefoto dan kamera tersembunyi untuk merekam kehidupan satwa liar dalam The Great Adventure (1954); Oceanografer Jeacques Cousteau memproduksi beberapa seri film dokumenter kehidupan bawah laut, seperti The Silent World (1954); Observasi kota tampak melalui karya Frank Stauffacher, Sausalito (1948) serta Francis Thompson, N.Y., N.Y. (1957). Mengikuti gaya eksotis Flaherty, John Marshall memproduksi The Hunters (1956) mengambil lokasi di gurun Kalihari di Afrika. Lalu Robert Gardner memproduksi salah satu film antropologis penting, Dead Birds (1963) yang menggambarkan suku Dani di Indonesia dengan ritual perangnya. Di Perancis, beberapa sineas berpengaruh seperti Alan Resnais, Georges Franju, serta Chris Marker lebih terfokus pada masalah seni dan budaya. Resnais mencuat namanya setelah filmnya, Van Gogh (1948) meraih penghargaan di Venice dan Academy Award. Franju memproduksi beberapa film dokumenter berpengaruh seperti Blood of the Beast (1948) dan Hotel des invalides (1951). Sementara Marker memproduksi Sunday in Peking (1956) dan Letter from Siberia (1958).

Direct Cinema
..
Pada akhir 50-an hingga pertengahan 60-an perkembangan film dokumenter mengalami perubahan besar. Dalam produksinya, sineas mulai menggunakan kamera yang lebih ringan dan mobil, jumlah kru yang sedikit, serta penolakan terhadap konsep naskah dan struktur tradisional. Mereka lebih spontan dalam merekam gambar (tanpa diatur), minim penggunaan narasi dengan membiarkan obyeknya berbicara untuk mereka sendiri (interview). Pendekatan ini dikenal dengan banyak istilah, seperti “candid” cinema, “uncontrolled” cinema, hingga cinéma vérité (di Perancis), namun secara umum dikenal dengan istilah Direct Cinema. Beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya tren ini, yakni gerakan Neorealisme Italia yang menyajikan keseharian yang realistik, inovasi teknologi kamera 16mm yang lebih kecil dan ringan, inovasi perekam suara portable, serta pengisi acara televisi yang popularitasnya semakin tinggi. Pendekatan Direct Cinema terutama banyak digunakan sineas asal Amerika, Kanada, dan Perancis.

Di Amerika, pengusung Direct Cinema yang paling berpengaruh adalah Robert Drew, seorang produser yang juga jurnalis foto. Drew membawahi beberapa sineas dokumenter berpengalaman seperti, Richard Leacock, Don Pannebaker, serta David dan Albert Maysles. Drew memproduksi film-film dokumenter yang lebih ditujukan untuk televisi, satu diantaranya yang paling berpengaruh adalah Primary (1960). Film ini menggambarkan kontes politik antara John Konnedy dan Hubert Humprey di Wisconsin. Drew bersama para asistennya merekam momen demi momen secara spontan. Secara bergantian kamera mengikuti kemana pun dua politisi tersebut pergi, di tempat kerja, bertemu publik di jalanan, berpidato, dan bahkan ketika tengah bersantai di hotel. Dalam perkembangan Leacock, Pannebaker, dan Maysles meninggalkan perusahaan milik Drew dan membentuk perusahaan mereka sendiri. Beberapa diantaranya memproduksi film-film dokumenter penting, seperti What’s Happening! The Beatles in New York (1964) arahan Maysles Bersaudara yang dianggap merupakan film dokumenter Amerika pertama tanpa penggunaan narasi sama sekali.

Di Perancis, salah satu pengusung cinéma vérité yang paling berpengaruh adalah Jean Rouch. Salah satu karyanya yang dianggap paling berpengaruh (bahkan di dunia) adalah Cronicle of a Summer (1961). Rouch berkolaborasi dengan sosiologis, Edgar Morin menggunakan pendekatan baru cinéma vérité, yakni tidak hanya semata-mata melakukan observasi dan bersimpati namun juga provokasi. “You push these people to confess themselves… it’s very strange kind of confession in front of the camera, where the camera is, let’s say, a mirror, and also a window open to the outside” ungkap Rouch. Dalam filmnya tampak Morin berdiskusi dengan pelajar serta para pekerja di Kota Paris tentang kehidupan mereka dengan melayangkan pertanyaan kunci, “Are you happy?”. Rouch membiarkan subyeknya mendefinisikan sendiri masalah mereka secara alamiah melalui performa mereka di depan kamera.
..
Sejak pertengahan 60-an, pengembangan teknologi kamera 16mm dan 35 mm yang semakin canggih serta ringan makin menambah fleksibilitas para pengusung Direct Cinema. Sejak awal 60-an, hampir semua sineas dokumenter telah menggunakan teknik kamera handheld untuk merekam segala peristiwa. Direct Cinema juga berpengaruh pada perkembangan film fiksi secara estetik melalui gerakan new wave, seperti di Perancis. Para sineas new wave seringkali menggunakan kamera handheld, pencahayaan yang tersedia, kru yang minim, serta shot on location. Bahkan film-film (fiksi) mainstream pun seringkali mengadopsi teknik Direct Cinema untuk menambah unsur realisme sebuah adegan. Pendekatan Direct Cinema secara umum berpengaruh perkembangan seni film di dunia terutama pada era 60-an dan 70-an.
..
Warisan Direct Cinema dan Perkembangannya Hingga Kini

Dalam perkembangannya, Direct Cinema terbukti sebagai kekuatan yang berpengaruh sepanjang sejarah film dokumenter. Berbagai pengembangan serta inovasi teknik serta tema bermunculan dengan motif yang makin bervariasi. Salah satu bentuk variasi dari Direct Cinema yang paling populer adalah “rockumentaries” (dokumentasi musik rock). Rockumentaries memiliki bentuk serta jenis yang beragam. Let it Be (1970) memperlihatkan grup musik legendaris The Beatles yang tengah mempersiapkan album mereka.Woodstock: Three Days of Peace & Music (1970) garapan Michael Wadleigh merupakan dokumentasi dari festival musik tiga hari di sebuah lahan pertanian yang menampilkan beberapa musisi rock papan atas. Woodstock sering dianggap sebagai film dokumenter musik terbaik sepanjang masa dan menjadi dasar berpijak bagi film-film dokumentasi sejenis berikutnya. Pada dekade mendatang, This is Spinal Tap (1984) merupakan sebuah parodi rockumentary yang terbukti paling sukses komersil pada masanya.

Tradisi Direct Cinema juga tampak pada film-film kontroversial karya Fredrick Wiseman. Film-filmnya banyak bersinggungan dengan kontrol sosial, berkait erat dengan birokrasi dan bagaimana masyarakat dibuat frustasi olehnya. Dalam film debutnya, High School (1968) memperlihatkan bagaimana para siswa berontak melawan birokrasi di sekolah mereka. Maysles Bersaudara memproduksi film “Direct Cinema” Amerika berpengaruh, Salesman (1966) yang menggambarkan seorang salesman yang gagal. Sejak era 70-an, format film dokumenter mulai berubah melalui kombinasi pendekatan Direct Cinema, kompilasi footage, narasi, serta iringan musik. Salah satu sineas yang mempelopori format kombinasi ini adalah Emile De Antonio melalui film anti perangnya, Vietnam: In the Year’s of the Pig (1969). Dalam perkembangannya format ini mendominasi gaya film dokumenter selama beberapa dekade ke depan. Munculnya format digital juga semakin memudahkan siapa pun untuk memproduksi film dokumenter. Kritik sosial dan politik, lingkungan hidup, serta keberpihakan kaum minoritas masih menjadi menu utama tema film dokumenter beberapa dekade ke depan.

Beberapa sineas dokumenter berpengaruh muncul selama periode 70-an hingga kini. Erol Morris memproduksi film-film dokumenter unik dengan tema dan subyek yang tak lazim, seperti Gates of Heaven(1978), The Thin Blue Line (1988), serta Mr. Death (2000). Barbara Kopple dikenal melalui filmnya bertema demonstasi buruh, yakni, Harlan County, USA (1976) dan American Dream (1990). Michael Moore gemar melakukan kritik sosial dan politik melalui film-filmnya Roger and Me(1989), Bowling for Columbine (2001), Fahrenheit 9/11 (2004) sertaSicko. Kevin Rafferty dikenal melalui film-filmnya seperti The Atomic Café (1982) dan The Last Cigarettes (1999). Pendekatan eksotis Flaherty juga masih tampak dalam film peraih Oscar, March of the Penguins (2005) yang tercatat sebagai film dokumenter terlaris sepanjang masa. Selama sejarah perkembangannya, film dokumenter terbukti dapat lebih manipulatif ketimbang film-film fiksi komersil. Film dokumenter melalui penyajian dan subyektifitasnya seringkali cenderung menggiring kita untuk memihak. Masalah etika dan moral selalu dipertanyakan. Sineas dokumenter seyogyanya tidak hanya mampu menyajikan fakta namun juga kebenaran.


Sejarah Berdirinya La liga


Sejarah Berdiri La Liga / Primera DivisionLa liga/Primera Divisionadalah sebuah kompetisi yang dikuti oleh klub-klub sepakbola di seluruh penjuru Spanyol.Liga Spanyol atau Liga de Fútbol Profesional (“Liga Sepak Bola Profesional”), biasa dikenal dengan nama La Liga atau Primera División adalah liga sepak bola paling tinggi di Spanyol. Didirikan pada tahun 1929, liga ini secara teratur mengadakan kompetisi tahunan. Pada saat ini, ada 20 kesebelasan tim yang tergabung di dalamnya. Tim yang meraih gelar juara terbanyak hingga ialah Real Madrid dengan 31 kali disusul FC Barcelona dengan 20 kali. Hanya ada tiga tim sepanjang sejarah La Liga yang belum pernah terdegradasi, yaitu Real Madrid, FC Barcelona, dan Athletic Bilbao.
Liga Spanyol memiliki peraturan yang ketat di Spanyol, dan transfer antara tim jauh lebih terbatas daripada di Inggris. Spanyol dan Uni Eropa pemain tidak dapat beralih di antara tim di divisi yang sama selama satu musim, dan tim mendaftarkan skuad tim tetap pertama dari 25 pemain sepakbola tahun seluruh. Sebuah jendela namun tidak membuka selama satu bulan dari pertengahan Desember memungkinkan pemain yang tidak bermain lebih dari mengatakan empat game untuk klub mereka di musim yang akan ditransfer. pemain tim pertama memakai angka satu sampai 25, dan yunior diberi nomor dari 26 dan seterusnya. Pemain Non Uni Eropa terbatas pada empat per skuad sejak musim 2000/2001, dengan hanya tiga diperbolehkan di lapangan bermain pada waktu yang sama. Ini akan berkurang pada tahun-tahun mendatang.

Juara La Liga / Primera Division dari 1970-2011

1970: Atlético de Madrid
1971: Valencia CF
1972: Real Madrid
1973: Atlético de Madrid
1974: FC Barcelona
1975: Real Madrid
1976: Real Madrid
1977: Atlético de Madrid
1978: Real Madrid
1979: Real Madrid
1980: Real Madrid
1981: Real Sociedad
1982: Real Sociedad
1983: Athletic Bilbao
1984: Athletic Bilbao
1985: FC Barcelona
1986: Real Madrid
1987: Real Madrid
1988: Real Madrid
1989: Real Madrid
1990: Real Madrid
1991: FC Barcelona
1992: FC Barcelona
1993: FC Barcelona
1994: FC Barcelona
1995: Real Madrid
1996: Atlético de Madrid
1997: Real Madrid
1998: FC Barcelona
1999: FC Barcelona
2000: Deportivo de La Coruña
2001: Real Madrid
2002: Valencia CF
2003: Real Madrid
2004: Valencia CF
2005: FC Barcelona
2006: FC Barcelona
2007: Real Madrid
2008: Real Madrid
2009: FC Barcelona
2010: FC Barcelona
2011: FC Barcelona


Sharajat Al Hayat, Fenomena Pohon Kehidupan di Gurun Pasir Bahrain


Jangan kira pohon rindang tak bisa tumbuh di gurun pasir. Pengecualian selalu ada. Inilah pohon yang bisa hidup sendirian tengah gurun pasir tandus dan panas, berkilometer-kilometer jauhnya dari sumber air (yang diketahui) serta vegetasi lainnya. Pohon itu dinamai Sharajat Al Hayat, Pohon Kehidupan, yang adanya di Bahrain dan merupakan salah satu fenomena alam paling luar biasa.



Pohon Kehidupan tersebut terletak 2 kilometer dari Jabal ad Dukhan, bukit pasir tertinggi (15 meteran). Misteri tentang bagaimana bisa pohon ajaib itu hidup dalam kondisi seperti itu telah membuatnya menjadi legenda di Bahrain, selain membuat penasaran banyak orang dari seluruh dunia untuk melihat secara langsung. Keajaiban alam ini konon sudah berusia 400 tahun dan membuat bingung para ilmuwan sampai sekarang. Meski mereka telah mengembangkan beberapa teori, tetap belum ada konklusi final alias masih teka-teki. Ada yang bilang akar-akarnya menyebar sangat mendalam dan dengan jangkauan luas hingga mencapai sumber air yang tak diketahui keberadaannya, tetapi belum ada yang bisa membuktikan.



Bahkan, warga setempat pun memiliki penjelasan berbeda-beda soal rahasia di balik keberadaannya. Namun, sebagian besar berdasarkan kepercayaan yang mereka anut. Ada yang percaya bahwa di situlah lokasi sebenarnya dari Taman Firdaus, Tamah Eden, sedangkan suku Badui di sana yakin pohon itu telah diberkati Enki, Dewa Air. Apapun penjelasannya, Sharajat Al Hayat terus tumbuh berkembang selama empat abad.


 
 

TheUnik Copyright © 2010 LKart Theme is Designed by Lasantha