"Saya ingin mencicipi dodol atau kari kambing dicampur ganja," demikian pernyataan yang kerap diungkapkan pendatang ketika menginjakkan kakinya di Aceh.
Pernyataan yang seakan-akan telah menyatukan antara "Aceh dengan ganja" itu juga diakui Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar.
"Saya juga pernah mendengar itu," katanya. Akan tetapi, menurut dia, hanya orang-orang yang tidak paham dan mengetahui persis proses peracikan bumbu kari kambing atau dodol Aceh, lantas mengidentikkan dengannya dengan ganja.
Padahal citra rasa lezat, yang dihasilkan makanan itu, kata Muhammad Nazar karena kelihaian orang Aceh meracik bumbu dan membuat makanan lezat.
"Yang pasti, enaknya dodol, gulai kambing atau sapi serta aromanya kopi Aceh itu bukan karena campuran ganja, tapi dasarnya bahwa masyarakat Aceh pintar masak dan usaha kuliner," katanya.
Menurut Muhammad Nazar, kalaupun ada masyarakat yang mencampur bumbu itu dengan daun atau biji ganja, itu hanya sebatas "kenakalan" orang per orang.
Ia sangat menyayangkan tindakan beberapa gelintir orang di Aceh merusak kuliner Aceh, yang saat ini makin dikenal di seluruh Indonesia.
Untuk itu, ia berharap semua pihak bersatu untuk memerangi pemahaman bahwa makanan Aceh enak, karena dicampur ganja sebagai "penyedap". Apalagi, sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa ganja "haram" digunakan.
Pohon ganja di Aceh bukan jenis tanaman yang dibudidayakan masyarakat, tapi merupakan tanaman yang tumbuh sendiri di hutan-hutan karena provinsi ini memiliki lahan yang subur.
"Kita mengakui selain tumbuh sendiri, pohon ganja ditanam oknum masyarakat secara sembunyi-bunyi di kawasan hutan belantara Aceh," katanya menyebutkan.
Akan tetapi yang mendorong warga untuk menanam tanaman "haram" itu karena alasan kemiskinan, selain sulitnya membudidaya tanaman produktif.
"Ada juga yang ingin "cepat kaya" dengan pohon ganja. Tapi yakinlah tidak ada orang yang bisa kaya dengan menanam atau mengedarkan ganja. Sebaliknya, akan tambah menderita ketika polisi menangkapnya dan memenjarakan," kata Muhammad Nazar.
Pemerintah Aceh melalui dukungan berbagai lembaga telah menargetkan untuk membebaskan provinsi berpenduduk sekitar 4,6 juta jiwa itu dari tanaman ganja.
"Kami menargetkan Aceh terbebas dari tanaman ganja pada 2015, bersamaan akan dilakukan pembasmian tumbuhan itu secara gencar dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat masyarakat dan aparat keamanan," kata Muhammad Nazar.
Wagub menjelaskan tanaman ganja telah menimbulkan pandangan jelek tentang Aceh, karenanya penting keterlibatan seluruh elemen masyarakat bersama-sama dengan aparat penegak hukum untuk memberantasnya.
Pemerintah Aceh dengan dukungan lembaga donor, telah menyiapkan program alternatif sebagai peganti tanaman ganja yang sebagian memang menjadi usaha oknum masyarakat.
Diharapkan melalui program pembangunan alternatif pengganti tanaman ganja di daerah yang sebelumnya tercatat sebagai ladang, maka masyarakat bisa beralih dengan tanaman produktif seperti jagung, cabai dan aneka produk pertanian lainnya.
Ia mencontohkan program pembangunan alternatif di salah satu "lumbung" ganja di kawasan Lamteuba, Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar, sudah berhasil dan ke depan juga dicoba seperti di Aceh Tenggara.
Di pihak lain, Muhammad Nazar menyatakan prihatin tingginya angka kriminalitas akibat pengaruh narkotika sepanjang beberapa tahun terakhir di provinsi ujung paling barat Indonesia ini.
Perkembangan kasus
Data kepolisian menyebutkan jumlah kasus Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) yang terjadi pada tahun 2006 sebanyak 477 kasus, 599 kasus (2007), kemudian menurun menjadi 583 kasus (2008) dan 562 kasus Januari-Nopember 2009.
Sementara tersangka narkotika sebanyak 650 orang (2006), tercatat 829 orang (2007), sebanyak 755 tersangka 2008 serta Januari-Nopember 2009 tercatat 730 tersangka.
Jumlah tersangka berdasarkan jenis kelamin, yakni Januari 2006 hingga Nopember 2009 tercata 2.849 tersangka laki-laki dan 118 adalah perempuan.
Usia pelaku di bawah 15 tahun yakni dua orang (2008) dan 15-19 tahun sebanyak 168 pelaku pada Januari 2006-Nopember 2009. Kemudian usia 20-24 tahun sebanyak 780 orang, usia 25-29 tahun berjumlah 841 pelaku. Selanjutnya usia 30 ke atas dari tahun 2006 sampai Nopember 2009 sebanyak 1.174 pelaku.
Para pelaku kejahatan narkotika (pengedar dan pengguna) tercatat dari kalangan pelajar, mahasiswa dan profesi lainnya.
Pernyataan yang seakan-akan telah menyatukan antara "Aceh dengan ganja" itu juga diakui Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar.
"Saya juga pernah mendengar itu," katanya. Akan tetapi, menurut dia, hanya orang-orang yang tidak paham dan mengetahui persis proses peracikan bumbu kari kambing atau dodol Aceh, lantas mengidentikkan dengannya dengan ganja.
Padahal citra rasa lezat, yang dihasilkan makanan itu, kata Muhammad Nazar karena kelihaian orang Aceh meracik bumbu dan membuat makanan lezat.
"Yang pasti, enaknya dodol, gulai kambing atau sapi serta aromanya kopi Aceh itu bukan karena campuran ganja, tapi dasarnya bahwa masyarakat Aceh pintar masak dan usaha kuliner," katanya.
Menurut Muhammad Nazar, kalaupun ada masyarakat yang mencampur bumbu itu dengan daun atau biji ganja, itu hanya sebatas "kenakalan" orang per orang.
Ia sangat menyayangkan tindakan beberapa gelintir orang di Aceh merusak kuliner Aceh, yang saat ini makin dikenal di seluruh Indonesia.
Untuk itu, ia berharap semua pihak bersatu untuk memerangi pemahaman bahwa makanan Aceh enak, karena dicampur ganja sebagai "penyedap". Apalagi, sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa ganja "haram" digunakan.
Pohon ganja di Aceh bukan jenis tanaman yang dibudidayakan masyarakat, tapi merupakan tanaman yang tumbuh sendiri di hutan-hutan karena provinsi ini memiliki lahan yang subur.
"Kita mengakui selain tumbuh sendiri, pohon ganja ditanam oknum masyarakat secara sembunyi-bunyi di kawasan hutan belantara Aceh," katanya menyebutkan.
Akan tetapi yang mendorong warga untuk menanam tanaman "haram" itu karena alasan kemiskinan, selain sulitnya membudidaya tanaman produktif.
"Ada juga yang ingin "cepat kaya" dengan pohon ganja. Tapi yakinlah tidak ada orang yang bisa kaya dengan menanam atau mengedarkan ganja. Sebaliknya, akan tambah menderita ketika polisi menangkapnya dan memenjarakan," kata Muhammad Nazar.
Pemerintah Aceh melalui dukungan berbagai lembaga telah menargetkan untuk membebaskan provinsi berpenduduk sekitar 4,6 juta jiwa itu dari tanaman ganja.
"Kami menargetkan Aceh terbebas dari tanaman ganja pada 2015, bersamaan akan dilakukan pembasmian tumbuhan itu secara gencar dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat masyarakat dan aparat keamanan," kata Muhammad Nazar.
Wagub menjelaskan tanaman ganja telah menimbulkan pandangan jelek tentang Aceh, karenanya penting keterlibatan seluruh elemen masyarakat bersama-sama dengan aparat penegak hukum untuk memberantasnya.
Pemerintah Aceh dengan dukungan lembaga donor, telah menyiapkan program alternatif sebagai peganti tanaman ganja yang sebagian memang menjadi usaha oknum masyarakat.
Diharapkan melalui program pembangunan alternatif pengganti tanaman ganja di daerah yang sebelumnya tercatat sebagai ladang, maka masyarakat bisa beralih dengan tanaman produktif seperti jagung, cabai dan aneka produk pertanian lainnya.
Ia mencontohkan program pembangunan alternatif di salah satu "lumbung" ganja di kawasan Lamteuba, Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar, sudah berhasil dan ke depan juga dicoba seperti di Aceh Tenggara.
Di pihak lain, Muhammad Nazar menyatakan prihatin tingginya angka kriminalitas akibat pengaruh narkotika sepanjang beberapa tahun terakhir di provinsi ujung paling barat Indonesia ini.
Perkembangan kasus
Data kepolisian menyebutkan jumlah kasus Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) yang terjadi pada tahun 2006 sebanyak 477 kasus, 599 kasus (2007), kemudian menurun menjadi 583 kasus (2008) dan 562 kasus Januari-Nopember 2009.
Sementara tersangka narkotika sebanyak 650 orang (2006), tercatat 829 orang (2007), sebanyak 755 tersangka 2008 serta Januari-Nopember 2009 tercatat 730 tersangka.
Jumlah tersangka berdasarkan jenis kelamin, yakni Januari 2006 hingga Nopember 2009 tercata 2.849 tersangka laki-laki dan 118 adalah perempuan.
Usia pelaku di bawah 15 tahun yakni dua orang (2008) dan 15-19 tahun sebanyak 168 pelaku pada Januari 2006-Nopember 2009. Kemudian usia 20-24 tahun sebanyak 780 orang, usia 25-29 tahun berjumlah 841 pelaku. Selanjutnya usia 30 ke atas dari tahun 2006 sampai Nopember 2009 sebanyak 1.174 pelaku.
Para pelaku kejahatan narkotika (pengedar dan pengguna) tercatat dari kalangan pelajar, mahasiswa dan profesi lainnya.
Muhammad Nazar yang juga Ketua Badan Narkotika Provinsi (BNP) Aceh, menyatakan penyalahgunaan narkoba saat ini sudah mengkhawatirkan dan tidak hanya orang dewasa yang menjadi korban, tapi anak-anak dan remaja.
Oleh karena itu, komitmen global pemberantasan, pencegahan penyalahgunaan narkotika dalam bentuk perang terhadap upaya peredaran gelap serta penyalahgunaan narkotika harus dilakukan secara serius.
"Tapi, sangat ironis jika pada tataran masyarakat belum sadar, maka semua hanya teori belaka. Karena itu perlu disertai perhatian semua elemen dan dukungan perangkat hukum secara sinergis guna memberantas peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika," katanya menambahkan.
Ada tiga hal pokok dalam penanggulangan narkotika, pertama yakni mencegah jatuhya korban atau bertambahnya jumlah pecandu narkotika. Kedua, mengobati para korban (pecandu).
Ketiga, penegakan hukum yaitu memberikan sanksi yang seberat-beratnya bagi produsen dan pengedar narkotika. Peringatan HANI yang dilaksanakan setiap tahun merupakan momentum bagi semua negara di dunia untuk secara bersama-sama menanggulangi masalah narkotika.
Upaya pemberantasan penyalahgunaan narkotika, pemerintah meningkatkan partisipasi aktif masyarakat luas untuk menggerakkan dan memerangi narkotika, melalui tema hidup sehat tanpa narkotika.
Kalangan ulama Aceh mengajak masyarakat khususnya generasi muda untuk bersatu "berperang" melawan narkoba, karena saat ini pengaruh penyalahgunaan zat psikotropika tersebut dinilai cukup mengkhawatirkan.
"Saya mengimbau dengan kesadaran tinggi untuk membersihkan Aceh, terutama generasi muda dari pengaruh atau penggunaan narkoba. Mari, mulai saat ini kita menyatakan `perang` terhadap barang haram itu," kata Sekjen Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Tgk Faisal Ali.
Para ulama Aceh telah mengeluarkan fatwa haram tentang penggunaan narkoba, termasuk ganja. "Beberapa tahun lalu, para ulama kita mengeluarkan fatwa haram penggunaan narkoba dalam bentuk dan jenis apapun," katanya menambahkan.
Salah satu dampak dari pengaruh narkoba, Faisal Ali menyebutkan terjadinya peningkatan kasus kriminal, angka perceraian juga meningkat.
"Kasus-kasus kriminal saya pastikan sebagai pengaruh pengunaan narkoba. Orang mabuk bisa membunuh, merampok dan mencuri serta menganiaya. Penggunaan narkoba juga telah menyebabkan perceraian dalam rumah tangga," kata dia mencontohkan.
Narkoba juga telah menyebabkan "manusia" bisa menjadi "binatang" karena terpengaruh oleh alam tidak sadar. "Sekali lagi, saya mengajak agar masyarakat terutama generasi muda segera meninggalkan narkoba jika memang sudah terlanjur sebagai pengguna," kata Faisal Ali yang juga Ketua PWNU Aceh.
Aceh tidak hanya sekedar menghilangkan pengaruh ganja sebagai "bumbu masak" tapi benar-benar melenyapkan tanaman "haram" itu tumbuh di sentaro daerah berjuluk Serambi Mekah itu pada 2015. berita8.com
0 Comments:
Post a Comment